indojournal88.blogspot.com Berita Fakta Lugas Terpercaya

Di Balik Sentimen Anti-Tiongkok


Perwakilan massa berorasi di sela sidang dugaan penisataan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, di depan PN Jakarta Utara, Jakarta, Selasa (20/12). Isu anti Tiongkok yang menguat belakangan ini ditengarai disulut dan digerakkan oleh elit politik.
Jelang Pilkada Serentak 2017, isu anti Tiongkok alias Cina menjamur di Indonesia. Mulai dari soal 10 juta tenaga kerja Tiongkok, sikap rasialis anti Tiongkok, hingga razia ilegal atas tenaga kerja dari Tiongkok.
Soal tenaga kerja Tiongkok, pemerintah sudah menjelaskan jumlahnya hanya 21 ribu orang. Ada juga isu soal tenaga kerja ilegal di beberapa daerah. Namun sudah ditindak.
Tapi isu ini tak segera padam. Di media sosial secara nasional dan di Jakarta, isu anti Tiongkok sangat kental aromanya.Di linimasa kerap ditemukan kabar hoax dan ujaran anti Tiongkok.
Menurut peneliti Saiful Mujani, yang bersandar pada serangkaian survei opini publik secara nasional rentang 2001-2016 sentimen anti Tiongkok relatif kecil dan tetap.
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan, mereka yang merasa anti Tiongkok tak pernah lebih dari 1,5 persen. Tahun ini bahkan nilainya hanya 0,8 persen.Artinya, hanya sebagian kecil masyarakat yang anti Tiongkok.
Publik justru paling anti dengan ideologi Komunis. Sepuluh tahun lalu, 62,7 persen publik anti terhadap Komunisme. Kini hanya 11,8 persen publik yang anti Komunisme.
Lalu apa penyebabnya isu anti Tiongkok kini seolah membesar?
Menguatnya sentimen anti Tiongkok belakangan tidak mencerminkan sikap massa secara nasional. Isu juga tak berhembus dengan alamiah.
Tapi kemungkinan karena kontestasi politik elit di DKI Jakarta yang membutuhkan dukungan massa.
Elit politik menyulut lewat agen-agen anti Tiongkok yang sudah ada, dengan kerangka penistaan agama yang dilekatkan pada Ahok, alias Basuki Tjahaja Purnama, salah satu calon gubernur DKI Jakarta.
Saiful menjelaskan, jika melihat kasus intoleransi di Indonesia, fokus perhatiannya pada kelompok yang mengusung sentimen intoleran tersebut.
Sentimen itu membesar saat kelompok tersebut mendapatkan teman yang sama-sama ingin menjatuhkan satu kekuatan politik yang sama. Walau tujuan mereka berbeda.
Elit politik melakukan mobilisasi lewat agen-agen anti Tiongkok lama dengan kerangka penistaan agama yang dilekatkan pada Ahok. Saiful mencontohkan FPI yang menolak gubernur non muslim atau yang beretnis Tiongkok bukan cerita baru.
Selama ini, masalah ini tak pernah jadi sangat serius. Masalah ini jadi serius ketika beberapa pihak penentang gubernur beretnis Tiongkok bertemu dalam satu momentum.
"Artinya ada momentum persaingan politik. Ketika Pilkada selesai maka akan selesai akan sepi lagi, tidak ada cerita lagi," kata Saiful seperti dipetik dari detikcom.
Dengan momentum Pilkada, maka elit politik menciptakan kerangka anti Tiongkok. "Itu (anti Tiongkok) bukan karena masyarakatnya tidak toleran, karena diciptakan oleh orang-orang ini," kata Saiful seperti dikutip dari BBC Indonesia.
Isu menjadi besar karena disebarkan lewat media daring dan media sosial.
Menurut peneliti media dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignatius Haryanto, kemunculan sentimen anti Tiongkok belakangan ini bukan hanya bermotif politik, tapi juga keuntungan ekonomi.
Terutama lewat peran berbagai media daring yang memproduksi kabar bohong tersebut.
Menurut hitung-hitungan Septiaji Eko Nugroho dari Masyarakat Anti Hoax, satu situs yang memproduksi kabar hoax, dalam setahun mereka bisa meraup Rp600-700 juta.
Kepentingan politik, ekonomi, serta kekurangpahaman masyarakat berkelindan terhadap kabar bohong (hoax), menurut Ignatius, membuat isu sentimen anti Tiongkok ini jadi mewabah.

0 comments:

Post a Comment